ONO CERITO Setelah runtuhnya kerajaan Singosari, Pulau Jawa mengalami kekosongan
pemerintahan. Kemudian muncul penguasa baru dari daerah sekitar Gunung
Muria yang kemudian mengangkat dirinya menjadi adipati. Sebenarnya ada
dua kadipaten saat itu, yaitu Kadipaten Karanggaruda dan Kadipaten
Carangsoka. Kadipaten Karanggaruda dipimpin oleh Yudhapati dan Kadipaten
Carangsoka dipimpin oleh Puspa Andungjaya. Yudhapati mempunyai wilayah
kekuasaan dari selatan sungai Juwana hingga Gamping utara berbatasan
dengan kabupaten Grobogan. Sedangkan Puspa Andungjaya mempunyai wilayah
kekuasaan dari utara sungai Juwana hingga Pantai Utara Jawa Tengah
bagian timur .
Kedua kadipaten ini hidup dengan damai hingga kedua adipatinya
memutuskan untuk berbesanan. Kedua adipati ini bersepakat untuk
mengawinkan anak mereka yang bernama Raden Jasari yang merupakan anak
dari Adipati Yudhapati dengan Rara Rayungwulan anak dari adipati Adipati
Puspa Andungjaya. Pernikahan kemudian akan dilakukan di Kadipaten
Carangsongka. Pada saat pesta perkawinan akan dimulai, tiba-tiba Rara
Rayungwulan melarikan diri dengan dalang yang bernama dalang Sapanyana.
Karena pernikahan yang gagal, Adipati Yudhapati merasa dipermalukan,
sehingga menyatakan permusuhan terhadap Adipati Puspa Adungjaya sehingga
peperangan tak dapat terhindarkan lagi. Raden Sukmayana memimpin
prajurit dari Kadipaten Carangsongka, tapi kemudian tewas dalam
pertempuran. Tugas ini kemudian diteruskan oleh Raden Kembangjaya yang
merupakan adik dari Raden Sukmayana. Peperangan ini kemudian dimenangkan
oleh Raden Kembangjaya dengan tewasnya Adipati Paranggaruda dan
anaknya. Raden Kembangjaya kemudian dinikahkan dengan Rara Rayungwulan
dan diangkat menjadi Adipati Carangsongka, dan dalang Sapanyana diangkat
menjadi patihnya dan berganti nama menjadi Singasari.Untuk mengatur wilayahnya yang semakin luas, Raden Kembangjaya memindahkan pusat pemerintahannya ke desa Kemiri dan mengganti nama Kadioaten tersebut menjadi Kadipaten Pasantenan dan bergelar Adipati Jayakusuma. setelah Jayakusuma meninggal, pemerintahan kemudian dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Raden Tambra dan bergelar Adipati Tambranegara. Untuk dapat memajukan wilayahnya, Adipati Tambra kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke desa Kaborongan dan mengganti nama Kadipaten menjadi kadipaten pati. ADIPATI PRAGOLA YG PERTAMA Nama aslinya adalah Wasis Jayakusuma putra Ki Ageng Panjawi, saudara seperjuangan Ki Ageng Pamanahan. Kakak perempuannya yang bernama Waskitajawi menikah dengan Sutawijaya putra Ki Ageng Pamanahan, dan melahirkan Mas Jolang.
Sutawijaya kemudian mendirikan Kesultanan Mataram tahun 1587, sebagai raja pertama bergelar Panembahan Senopati. Sementara itu, Wasis Jayakusuma menggantikan ayahnya sebagai bupati Pati bergelar Pragola. Secara suka rela ia tunduk kepada Mataram karena kakaknya dijadikan permaisuri utama bergelar Ratu Mas, sedangkan Mas Jolang sebagai putra mahkota.
Pada tahun 1890 Pragola ikut membantu Mataram menaklukkan Madiun. Pemimpin kota itu yang bernama Rangga Jemuna (putra bungsu Sultan Trenggana Demak) melarikan diri ke Surabaya. Putrinya yang bernama Retno Dumilah diambil Panembahan Senopati sebagai permaisuri kedua.
Peristiwa ini membuat Pragola sakit hati karena khawatir kedudukan kakaknya (Ratu Mas) terancam. Ia menganggap perjuangan Panembahan Senopati sudah tidak murni lagi. Pemberontakan Pati pun meletus tahun 1600. Daerah-daerah di sebelah utara Pegunungan Kendeng dapat ditaklukan Pragola.
Panembahan Senopati mengirim Mas Jolang untuk menghadapi pemberontakan Pragola. Kedua pasukan bertemu dekat Prambanan. Pragola dengan mudah melukai keponakannya itu sampai pingsan.
Panembahan Senopati berangkat untuk menumpas Pragola. Menurut Babad Tanah Jawi, Ratu Mas sudah merelakan kematian adiknya. Pertempuran terjadi di Prambanan. Pasukan Pragola kalah dan mundur ke Pati. Panembahan Senopati mengejar dan menghancurkan kota itu. Akhirnya, Adipati Pragola pun hilang tidak diketahui nasibnya.
Adipati Pragola yang Kedua
Pragola yang kedua adalah putra Pangeran Puger putra Panembahan Senopati. Ketika Mas Jolang naik takhta menggantikan Panembahan Senopati tahun 1601, Pangeran Puger iri karena merasa usianya lebih tua.Pangeran Puger yang saat itu menjabat sebagai adipati Demak akhirnya memberontak tahun 1602 tidak mau mengakui kedaulatan adiknya. Pemberontakan ini berakhir tahun 1605 setelah Pangeran Puger ditangkap dan dibuang ke Kudus.
Putra Pangeran Puger diangkat sebagai adipati Pati bergelar Pragola. Ia juga memberontak terhadap Mataram saat dipimpin sepupunya, yaitu Sultan Agung putra Mas Jolang tahun 1627. Pemberontakan ini dipicu oleh hasutan Tumenggung Endranata bupati Demak.
Sultan Agung memimpin langsung penumpasan pemberontakan Pati. Menurut naskah babad, Pragola memakai baju zirah (dalam bahasa Jawa disebut kere waja) peninggalan seorang Portugis bernama Baron Sekeber sehingga tidak mempan senjata apa pun.
Konon dikisahkan, Baron Sekeber adalah juru taman istana Pati. Ia terbukti berselingkuh dengan selir kesayangan Pragola sampai memiliki dua orang anak kembar. Pragola pun membunuh Baron Sekeber dan kedua anaknya, tapi mengampuni selirnya tersebut.
Arwah kedua anak Baron Sekeber datang untuk menuntut balas ketika pasukan Mataram menyerang Pati. Yang satu menyusup pada baju zirah milik Pragola, yang satunya menyusup pada tombak pusaka Kyai Baru Klinting milik Sultan Agung.
Abdi pemegang payung Sultan Agung yang bernama Ki Nayadarma minta izin menghadapi amukan Pragola. Sultan Agung pun meminjamkan tombak Baru Klinting kepadanya. Pertempuran akhirnya berakhir dengan kematian Pragola di tangan Nayadarma.
Sepeninggal Pragola, pasukan Mataram bergerak merampas harta kekayaan Pati. Selir Pragola (yang pernah berselingkuh dengan Baron Sekeber) diambil Tumenggung Wiraguna, seorang pegawai senior Mataram. Selir ini kemudian terkenal dengan nama Rara Mendut, yang kisah cintanya terhadap Pranacitra (pengawal Wiraguna) menjadi legenda di tanah Jawa.
GONJANG-GANJING
WASIS JOYOKUSUMO II
Hubungan
baik terjalin kembali setelah terdahulunya Pragola I mengadakan
pemberontakan terhadap Mataram. Perkawinan adalah sangat efektif
digunakan untuk menyatukan dua wilayah yang bertikai, Joyo Kusumo
menikah sama adik Sultan Agung. Kerukunan ini terjalin untuk memperluas
kekuasaan Mataram di tanah Jawa.
Wasis
Joyo Kusumo II mau melamar Putri pengusaha kaya dari Jepara. Ia melamar
dengan mengirimkan dua ekor gajah ditambah dengan tiga sampai empat
orang terkemuka yang membawa emas,perak, bahkan pakaian yang berharga
dan sirih. Akan tetapi peminangan ini ditolak karena gadis tersebut
telah dipinang oleh orang lain. Sehingga dibawa pulang seperangkat
lamaran kembali ke Pati.
Joyo
Kusumo marah, ia mengirimkan beberapa prajurit untuk menyerang rumah
orang kaya tersebut. Hal ini didengar oleh Kiai Demang Laksamana
kemudian membantu orang kaya tersebut dengan membawa pasukan bersenjata
dan seseorang pembesar Jepara juga membantu membawa beberapa prajurit.
Mereka bergabung mengantisipasi bahwa Pati akan menguasai daerah-daerah
lain sekitarnya. Kia Demang juga mengirim istrinya menghadap ke Mataram
guna melaporkan bahwa telah terjadi penyerbuan di wilayah Jepara untuk
memperebutkan seorang gadis cantik asal Jepara selain itu juga akan
menundukan wilayah Jepara.
Laporan
ini membuat Raja Mataram hati-hati sehingga ia mengirimkan telik sandi
ke Pati, untuk mengetahui sepak terjang Adipati Joyo Kusumo, laporan
yang diterima sesuai dengan apa yang pernah dilaporkan istri Kyai Demang
bahwa Pati sedang menyusun kekuatan. Raja Mataram segera mengirimkan
pasukan ke Pati.
Pasukan ini sebenarnya akan dipersiapkan untuk melawan Surbaya.
konsentrasi Mataram sedang disibukan dengan penumpasan Surabaya.. Tapi
dialihkan menuju ke wilayah Pati guna mencegah terjadinya pemberontakan
di wilayah tersebut.
Perang saudara ini bisa dicegah dengan mengadakan perkawinan politik antara
anak Sultan Agung dengan anak Joyo Kusumo, dan ini sangat efektif untuk
meredam pemberontakan di Wilayah Pati. Pasukan Mataram kemudian
dialihkan kembali ke penyerangan Surabaya Disamping itu juga untuk
mencegah terjadinya pemberontakan wilayah, Pati salah satu kekuatan yang
menjadi perhitungan politik Sultan Agung, sehingga harus dipertahankan
supaya tetap mendukung Mataram.
Adi pati Joyo Kusumo gagah
berani tampil sebagai pemimpin wilayah Pantai, mereka mengumpulkan
Penguasa Utara di Juana. Bahkan ketika pengirimin pasukan untuk
menyerang Surabaya ia menjadi panglimanya menggantikan Adipati
Sujanapura yang gugur dalam pertempuran. Adipati Joyo Kusumo juga ikut
dalam menumpas Pemberontakan Tuban. Ia bersama
Lasem bahu membahu untuk menundukan kekuatan dan strategi perang Tuban
dengan besar-besaran,. sedangkan palimanya Adipati Matralaya lebih
senang menunggu musuh daripada menyerang dahuluan. Joyo Kusumo juga
pernah menjadi panglima yang gagah berani. Ia bahu membahu dengan pasukan Tumenggung Alap-alap
Setelah
penyerangan Surabaya selesai, penarikan pasukan kembali ke wilayahnya
masing-masing. Temenggung Endranata mulai kasak-kusuk di dalam Keraton
Mataram, ia menterjemahkan mimpi Sultan Agung, tentang kedatangan
seorang berbaju putih yang mengharuskan menyingkirkan empat orang
terkemuka yang dapat menjadi duri dalam daging di Mataram. Temenggung
Endratara membisikan siapa saja yang menjadi penghalang Sultan Agung.
Adipati
endranata melemparkan isyu bahwa Pati akan mengadakan penyerangan
terhadap Mataram.. Pargola memperluas wilayahnya dengan mengangkat enam
Bupati MangunJaya, Kanduruwan,Raja Menggala, Toh Pati, Sawunggaling dan
Sindurejo. Mereka ia bersumpah sampai titik darah penghabisan
Raja
Sultan Agung memanggil beberapa adipati menghadap ke Mataram, raja
menanyakan kenapa Adipati Pragola tidak menghadap. Temenggung Endranata
menerangkan bahwa Pati tengah menyusun kekuatan dengan penguasa-penguasa
pantai utara, kecuali Demak yang masih setia kepada Mataram, hal ini
membuat murka Sultan Agung.
Raja
mengatur pasukan sebelah kanan yang dipimpin Adipati Matralaya membawai
pasukan Mancanegara, pasukan ini bermukim di Pekuwon Juwana. bagian
timur sebelah kiri Pangeran Sumedang yang memimpin bagian barat.
Orang-orang Madura memimpin bagian tengah, dibelakang itu rakyat dari
Kedu, Bagelan dan Pemijen, pasukannya mendirikan benteng pertahanan di
kaki Gunung Kendeng, di daerah Cengkal Sewu sebelah selatan Pati.
Terakhir keluarga Raja yang memimpin pasukan-pasukan Pamejagan mataram.
Pengawal pribadi terdiri dari 2.000 prajurit semua kapendak yang ada
diantara mereka harus mengikuti raja.
Pasukan
mengepung melewati Pajang dan Taji sehingga banyak penduduk berlarian
menuju ke Kota Pati. Kadipaten Pati dikepung prajurit dari segala
penjuru, pasukan telik sandi Pati melaporkan bahwa ada gerakan dari
pasukan menuju Pati yang dipimpin langsung oleh Sultan Agung. Adipati
Pati mengumpulkan rakyatnya yang masih setia untuk berkumpul
menyelenggarakan pesta. Untuk pengikutnya yang setia sebab esok akan
mengadakan pertempuran habis-habisan.
Pasukan
Pati mengenakan pakaian yang sama hitam-hitam, sedangkan rakyat
berpakaian seadanya. Mereka berkumpul menunggu Adipati Pragola yang
sedang siap-siap, ia mandi, mengenakan baju yang sangat bagus,
melengkapi diri dengan pakaian-pakain pusaka (Kere Wojo), dan jimat
pusaka.
Adipati
Pati bersama pasukannya menuju sector kanan, Serangan Pati ditujukan
pada sayap kanan pasukan Mataram yang berada dibawah pimpinan Matralaya,
dalam pasukan itu juga ada Adipati Endranata berada. Pihak Mataram
mengalami kekalahan besar, dihajar dengan pasukanPati dengan kekuatan
penuh, sehingga pasukan Mataram ditarik mundur sampai daerah perbatasan.
Sisa-sisa Pasukan Mataram kocar-kacir menyelamatkan diri, misalnya Raja
Niti, Mangun Oneng dan Kertajaya. Mataram lari ke Kunduruan, Pasukan
Mataram meminta pertimbangan dengan Eyang Kunduruan agar membantu
pasukan Mataram, namun Eyang tidak mau sehingga terjadi penyerbuan di
kenduruan. Eyang Kunduruan telah siap dengan pasukan penuh ditambah
Pasukan dari Adipati Pati. Mereka bahu-membahu memukul Pasukan Mataram, Pasukan Eyang Kunduruan mengusir Pasukan Mataram sampai di luar desa.
Melihat
kemenangan di tangan Adipati Pati Pragola, dalam pertempuran ini
Temenggung Endranata melarikan diri dan membelot ke Pasukan Pati. Juga
pusat dan sayap kiri pasukan Mataram menderita kerugian besar, Pasukan
Sawung Galing berhasil memporakporandakan pasukan inti Mataram, sehingga
hanya keluarga Raja dengan 2000 pengawal yang masih bertahan.
Adipati
Pragola mengobrak-abrik strategi Kalajengking, dia menyerang Pasukan
tengah menuju ke arah Susuhunan. Pasukan Temenggung Singanaru dihajar
habis-habisan sehingga seluruh anak buahnya tewas, Temenggung Singanaru
berlari menyelamatkan diri, ia kehilangan seluruh anak buahnya, sehingga
menimbulkan keadaan darurat.
Pasukan
Adipati Pati terlena, setelah memenangkan pertarungan, sehingga dia
menarik pasukan Pati kembali ke markasnya, pengejaran terhadap Pasukan
Mataram hanya sampai di tapal batas saja. Mereka tidak mengejar lagi
karena menduga sisa Pasukan Mataram kembali ke Yogyakarta.
Raja
Mataram memerintahkan mundur semua pasukan, untuk menyusun kembali
Pasukan Mataram yang tersisa. Banyak Pasukan Mataram yang kocar-kacir
kehilangan induk semangnya. Sultan Mataram memerintahkan Pasukan Mataram
yang ada di tiga sector, sayap kanan, kiri dan tengah untuk tidak
melakukan serangan, ditahan dulu pasukannya menunggu komando berikutnya.
Raja
Mataram di dalam hutan, mengumpulkan para pemimpin pasukan untuk
mengkaji ulang strategi perang, dan untuk menemukan stategi baru untuk
menundukan Pati. kemudian memukul gong pusaka Kiai Bicak, tetapi tidak
berbunyi. Ia kehilangan semangat dan berdoa kepada Allah, setelah itu
gong berbunyi lagi dengan suara nyaring, ini menggobarkan semangat para
prajurit Mataram, yang tadinya sudah mundur. Sekarang mereka maju lagi
untuk bertempur.
Sisa
Pasukan Mataram yang bertahan ditapal batas, dan pasukan yang masih di
hutan Jepara, Purwodadi, Kudus bergabung kembali dengan Pasukan Sultan
Mataram, setelah telik sandi menginstruksikan untuk segera merapat dan
bertemu dengan pasukan Sultan Mataram, sambil menunggu bantuan dari
Kerajaan Mataram yang akan menyerbu Surabaya, untuk dialihkan dahulu
membantu Pasukan Mataram yang mau menyerang Pati.
Meskipun
demikian, Adipati Pragola masih yakin akan kemenangannya. Ia mengadakan
pembunuhan besar-besaran pada pihak Mataram. Raja Mataram segera
mengirim pasukan tambahan dan mengarahkan
pengawal dan keluarganya, yang dipimpin oleh Pangeran Purbaya dan
keluarganya. Mereka merapat bergabung dengan sisa pasukan Mataram dengan
menggunakan strategi kombinasi, mengecoh pertahanan Pati. Pasukan
Mataram bergerak melawan Adipati Kunduruan di daerah Selatan,
Prawirataruna, Temenggung Toh Pati dan Tumenggung Mangunjaya bertahan di
arah timur, Tumenggung Sindurejo dan Raja Menggala bertahan di sector
Barat melawan gempuran Pasukan Tumenggung Alap-alap. sedangkan Pasukan
Tumenggung Sawunggaling kocar-kacir melawan pasukan inti, ia tertangkap
Pasukan Mataram dan di ekskusi ditempat.
Meskipun
demikian, Adipati Pragola dengan semangat menyala-nyala maju ke depan,
tetapi Raja Mataram menyerahkan tombak Kiyai Baru kepada Lurah Kapedak,
Naya Derma. Tepat ketika raja sekali lagi memukul gongnya Naya Derma
menusuk Pragola sehingga mengakibatkan luka ringan sebelah kiri. Pargola
jatuh dari kudanya kemudian ia bangkit, dan memacu kudanya keluar dari
kepungan Pasukan Mataram. Dia berlari untuk merawat lukanya, ditengah
jalan kudanya berhenti dan ia meninggal dunia di Sendang Sani. Mendengar Adipati
Pragola wafat. Temenggung Endranata dan pasukannya membelot, menganggap
ini suatu alasan untuk kembali ke Pasukan Mataram. Semua pasukan Pati
dimusnahkan, juga mereka yang ditangkap hidup lebih suka memilih mati.
Raja
memerintahkan agar jenazah Pragola ditegakan dan jimat-jimatnya
diambil. Melihat percikan darah pada Kiai Baru, raja mengerti bahwa
adiknya terbunuh dengan senjata itu.
Sementera
itu Tumenggung Mangunjaya melarikan diri ke dalam istana dan
menyampaikan berita kekalahan kepada para wanita disana juga kepada
empat menteri jaga : Sura Prameya, Rangga Jaladra, Sura Antaka dan
Pengalasan. Mereka bertempur terus sampai mati dengan 200 prajurit yang
masih ada. Ini dilakukan dialun-alun, hanya Mangunjaya yang membawa
berita kekalahan kepada para wanita, mereka cepat berlari meninggalkan
Kadipaten Pati menuju ke Gunung Prawata. Melalui pintu belakang bersama
putra mahkota yang masih muda.
Temenggung
Alap-alap dengan beberapa pasukannya mengobrak-abrik Pasukan Pati,
mereka merampok istana dan menguras habis istana bersama dengan
pengikut-pengikutnya, kekayaannya dirampas dan rumahnya dibakar
diratakan dengan tanah. ia memerintahkan untuk membawa para wanita ke
Mataram.
Sultan
Mataram bertemu dengan adiknya yang juga istri Pragola, ia bertanya
kenapa Pati harus memberontak terhadap Mataram, janda Pragola
menceritakan bahwa Sultan Mataram dan Pragola Pati diadu domba oleh
Adipati Endranata. Raja Mataram marah besar, sehingga ia memerintahkan
Martalulut dan Singanegara untuk membunuh Adipati Endranata dan
dipertontonkan ususnya di Pasar Gede.
RORO MENDUT & PRANACITRO
Pasukan
Mataram berhasil membumi hanguskan Kadipaten Pati. Tembok-tembok
sebagai benteng runtuh di hancurkan Mataram. Semua harta kekayaan
Kadipaten Pati di rampas di bawa pulang ke Mataram.Termasuk boyongan gadis-gadis cantik dari pesisir pantai utara jawa.
Temenggung
Wiroguno merupakan salah satu temenggung yang ikut dalm penyerangan
Kadipaten Pati, ia memperoleh hadiah putri boyongan dari Pati, yakni
Roro Mendut yang masih belia dan jelita. Tetapi Roro Mendut tidak sudi
diperistri Wiroguno yang sudah renta itu.
Roro
Mendut adalah seorang gadis cantik sehingga banyak pemuda-pemuda naksir
kepadanya. Roro Mendut berpacaran dengan pemuda Pati Bernama Bagus
Kemuda. Ada juga seorang pemuda asal Madura yang tinggal di Pati bernama
Kuda Panoleh, yang mencoba mengganggunya. Namun rasa cintanya kandas
karena ia menjadi boyongan Temenggung Wiroguno akibat Kadipaten Pati
kalah perang.
Temenggung
Wiroguno mencintai Roro Mendut, sehingga ia dibuatkan kaputren untuk
ditinggali dengan mbok Mbannya. Roro Mendut selalu bermuram durja karena
harus berpisah dengan kekasihnya yang harus mati ditangan orang-orang
Mataram. Kesedihannya makin memuncak tatkala ia harus dibawa oleh
Temenggung Wiraguno, orang Mataram yang telah merebut kebahagiaanya.
Roro
Mendut tidak kuat menahan perasaannya, ia berencana untuk melarikan
diri dari Kadipaten, untuk lepas dari cengkraman Temunggung Wiroguno.
Pada suatu malam ia Berkemas-kemas mau minggat dari Kaputren.
Roro
Mendut menjadi pelarian yang terus dikejar-kejar oleh Temunggung
Wiroguno, berpindah-pindah tempat menghindari pasukan Temenggung
Wiroguno, sehingga ia harus menyamar sebagai kawulo alit agar tidak
dapat dihendus oleh telik sandi temenggung Wiroguno.
Ia
memilih berjualan rokok di pinggir jalan yang ternyata laris sekali.
Meski harga puntung rokoknya jauh lebih mahal dari pada rokok yang masih
utuh, namun ternyata peminatnya justru membludak.
“Hai Roro Mendut mengapa sampai demikian ?” Tanya seorang pembeli yang amat penasaran.
“mau
tahu sebabnya?, tentu saja karena puntung rokok itu bekas kena bibirku
dan telah leceh dengan air ludahku yang manis dan harum!” jadi tegasnya,
semakin pendek puntung bekas hisapan bibir sensual si Mendut, semakin
nikmat citra rasanya. Puntung tersebut cukup lama dalam jepitan bibir
hangat berliur.
Beberapa
waktu kemudian, ia bertemu dengan salah seorang pelanggannya yang masih
muda, gagah, tampan dan kaya. Pemuda tersebut Pranacitra, anak lelaki
Janda Singobarong. Kemudian keduanya saling mabuk kepayang, bahkan
sampai ke puncak asmara yang paling tinggi. Namun perselingkuhan mereka
kepergok juga oleh Ki Wiroguno. Mereka diburu serta tertangkap di
pinggir Kali Opak (sungai Opak) yang sedang banjir. Akhirnya Pranacitro
tewas diujung keris Ki Tumenggung Wiroguno. Rara Mendut ikut Bela-Pati
dengan menubrukkan badannya pada keris yang masih berlumuran darah dalam
genggaman Tumenggung Wiroguno..”
Cerita
ini sebenarnya berawal dari Karya sastra seorang Pujangga Keraton
Kartosuro, pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono II (1727-1749),
bernama R. Ngabehi Ronggo Janur, berjudul Serat Pranacitro.
SILSILAH ADIPATI PRAGOLA
(Versi Tutur Tinular)
Brawijaya V X Bodri Cemoro
(Bhre Kertabhumi) (Dayang)
Ki Ageng Tarub I
Nawangsih X Bondan Kajawan
Getas Pandawa X Putri Sunan Bejagung
(Dyah Depok)
Roro Kasihan X Sunan Ngerang Ki Ageng Selo
Dewi Rarayano X Sahid Kusumastuti Ki Ageng Genis
Sunan Muria I
Dewi Pujiwati
Kembang Jaya Sukmayana Ki Ageng Pemanahan
(Versi Babad Tanah Jawi)
Brawijaya V X Bodri Cemoro
(Bhre Kertabhumi) (Dayang)
Ki Ageng Tarub I
Nawangsih X Bondan Kajawan
Getas Pandawa X Putri Sunan Bejagung
(Dyah Depok)
Roro Kasihan X Sunan Ngerang Ki Ageng Selo
Ki Ageng Pati Ki Ageng Genis
(Ki Gede Cermo)
Ki Penjawi Ki Pemanahan
Kembang Joyo
Adipati Pati I
Jaya Kusuma I Rara Sari X Sutawijaya
(Panembahan Senopati)
Mas Jolang
(Panembahan Hanyakrawati)
Jaya Kusuma II X Ratna Sari Masrangsang
(Sultan Agung) “Keris rambut pinutung+Kuluk kanigoro”.
Dua
benda pusaka itu merupakan simbol Kabupaten Pati yang duplikatnya
selalu diarak dalam peringatan hari jadi Kabupaten Pati. Dua benda
pusaka tersebut sengaja diboyong dari Museum Radja Pustaka Solo untuk
dipamerkan kepada masyarakat Pati.
Selain
dua benda pusaka tersebut, ikut dipamerkan beberapa benda pusaka
lainnya. Di antaranya “Keris Sengkelat” yang menjadi bagian dari
berdirinya Kerajaan Mataram Islam. Beberapa benda pusaka lainnya yang
juga dipamerkan adalah, Keris Nogososro Kinatah, Piton, Tombak Giring,
dan Tombak Sigar Jantung. Beberapa benda pusaka itu saat ini memang
sudah dimiliki sejumlah musium atau dimiliki kolektor dari luar Pati.
Keris
Nogososro Kinatah yang dipamerkan di pendapa kemarin adalah milik Eyang
Suto, warga perumahan Winong, Pati. Sedangkan sedang sejumlah keris
lainnya milik Brojo Buwono.